SM Cetak - Berita Utama
25 September 2013

SUARA MERDEKA
JAKARTA - DPR mengancam tidak menyetujui anggaran ujian nasional (UN) selama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak mematuhi putusan hukum yang tertuang dalam amar putusan MA.
’’Kalau amar putusan hukum itu klir, DPR harus bersepakat bahwa anggaran ujian nasional untuk tidak disetujui,” ujar anggota komisi X DPR, Rohmani saat konvensi rakyat “Evaluasi Satu Dasawarsa Ujian Na­sio­nal”, di Gedung Joeang, Jakarta, kemarin.
 Seperti diketahui, tahun 2009 lalu MA telah mengeluarkan amar putusan tentang penyelenggaraan UN. Dalam amar tersebut disebutkan, “Memerintah­kan kepada para tergugat untuk me­ningkatkan kualitas guru, ke­leng­kapan sarana dan pra­sarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di In­donesia, sebelum mengelurkan kebijakan pelaksanaan ujian nasional lebih lanjut”. Putusan MA tersebut menguatkan Pu­tusan Pengadilan Tinggi Nomor 377/PDT/2007/PT.DKI, yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri  Nomor 228/Pdt.G/ 2006/PN.JKT.PST.
Dirinya menegaskan, seluruh masyarakat Indonesia harus taat terhadap putusan hukum yang ada. Untuk itu, pihaknya juga memiliki tanggung jawab untuk mendorong pemerintah guna melaksanakan keputusan hukum itu.
“Kalau amar putusan itu jelas UN itu cacat hukum, artinya DPR juga harus mematuhi hu­kum. Ketika DPR menyetujui anggaran, sama saja DPR tidak mematuhi amar putusan MA,’’ jelasnya.
Dikatakan, DPR memiliki hak anggaran. Untuk itu, harus tercipta kemauan politik bagi DPR untuk menahan atau melo­loskan anggaran UN tersebut. ’’Kalau DPR tidak setuju, tidak mungkin cair uang itu. Kami nanti ingin kepada teman-teman DPR setujui anggaran 2014 di Kemdikbud minus UN,’’ tegas Rohmani.
Pemerataan Mutu
Sementara itu, aktivis Koa­lisi Reformasi Pendidikian (KRP), Retno Listyarti mengatakan, pihaknya akan mengajukan judicial review atas Undang-Undang APBN 2014 yang saat ini masih disusun oleh DPR. Menurutnya, hal itu menjadi solusi terakhir untuk menggagalkan penyelenggaraan UN.
’’Putusan MA yang sudah inkrah itu akan kami jadikan landasan untuk mengajukan judisial review atas UU APBN ketika sudah diketok nanti. Kami harap dapat membatalkan anggaran yang khusus untuk penyelangaraan UN,’’ tegasnya.
Menanggapi hal itu, Roh­mani mengatakan, hal itu mungkin saja terjadi. “Itu mungkin  saja. Untuk anggaran masih ada peluang, karena UU APBN bia­ssanya rampung Desember,” imbuh Rohmani.
Praktisi pendidikan, Elin Driana, pemerintah selalu ber­alasan pelaksanaan UN untuk melakukan pemetaan. Akan tetapi, pemetaan secara nasional belum dapat terwujud jika belum tercipta pemerataan mutu dan kualitas pendidikan.
“Apa bisa mengukur mutu pendidikan dengan UN. Kalau bicara mutu itu keseluruhan, mulai dari sarana prasana, kualitas guru, standar isi, materi, bukan sekedar bicara lulusan,” tegasnya.
Dijelaskan, terdapat data yang menyebutkan bahwa sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia belum mencapai standar mutu. “Artinya harus ada cara lain jika mutu belum tercapai,” imbuhnya.
Menurutnya, evaluasi dan penilaian tidak hanya sekadar angka, namun proses pembe­lajaran harus menjadi bagian penting. “Evaluasi itu diukur dari sebuah proses,” tambah Elin.
Pengamat pendidikan dari Ikatan Pendidikan Guru Indone­sia, Itje Chodidjah mengatakan, jika bicara evaluasi sekolah harus diberdayakan, karena penilaian merupakan bagian dari proses. Evaluasi itu untuk melakukan kontrol semuanya, bukan hanya siswa.
Dari perspektif pembelajaran, UN membunuh kreatifitas guru dan membodohkan sistem belajar mengajar. Pasalnya, siswa hanya difokuskan untuk mengisi soal tanpa mengembangkan nalar. (K32-90)